Hidup di Toko Mainan

Impian banget ya kayaknya kalau bisa hidup di toko mainan dan bebas memainkan apa saja yang ada di dalamnya.

Beberapa hari yang lalu kami sekeluarga pergi ke mal dan mampir ke toko mainan. Karena saat itu sedang hawa liburan, maka saya pun memberikan kesempatan untuk Abra memilh mainan yang ada di sana.

Awalnya dia memilih mainan mobil rc, tapi karena itu lebih kecil dan nggak lebih keren dari yang sudah dia punya, maka kata Pancit, “cari yang lain lagi aja”.

Lalu saya pun menyarankan tembakan Nerf yang otomatis (kita nggak perlu ngokang sendiri). Lagi diskon banyak pula! Akhirnya dia pun setuju untuk membeli itu.

Nature-nya Abra ke mainan (apapun) itu saya rasa lebih ke kolektor. Jadi dia jarang mainin mainan sampai barbar banget gitu. Seringnya yaa diatur-atur, dirapiin, dipindahin dari satu tempat pajang ke tempat yang lain, di bawa tidur, di bawa mandi, diajak jalan-jalan. Yaaa you got the point lah ya.

Jadi saya ya biasa aja kalau misalnya setelah dibeliin mainan dia nggak keliatan antusias gimana gitu, karena ya emang seringnya biasa aja, meskipun itu mainan yang sudah dia tunggu-tunggu banget. Selama maiinannya ga diusik, he’ll be fine.

Nggak terkecuali Nerf yang dibeliin tadi. Yaa dia senang, tapi yaa biasa aja, nggak yang jadi lonjak-lonjak. Aku suka lonjak-lonjak. Biar aku, biar aku jadi tinggi (Joshua sudah nikah loh! ckckck.. nyasar lagi pembicaraan kita).

Selang beberapa hari kemudian dia datang ke saya dengan nada kesal, “aku mau Pedang Naga Legend dong bun! Kenapa sih kamu kemarin nyuruh aku beli mainan yang lain? Kan kamu tahu aku maunya pedang naga legend?!”

“Lah, siapa yang nyuruh kamu beli mainan, kan sudah aku bilang, kalau kamu nggak ada yang disuka di sini, ya sudah nanti kita cek toko lain atau beli yang kamu mau.”

“Ya tapi kan kita sudah ada di toko nya, terus kamu nawarin aku.”

“Ya tinggal ditolak aja kan. Bilang, ‘aku maunya Pedang Naga Legend’ gitu kan gampang. Sekarang mah ya nggak aku beliin lah. Kan uang mainan kamu dah buat beli Nerf nya kemarin.”

Lalu dia pun ngambek dan marah-marah sendiri.

Awalnya saya nggak ngerti kenapa dia marah-marah sendiri. Tapi setelah merenung sesaat, “wow ternyata hidupku juga kayak gitu”.

Kayaknya nggak sekali dua kali saya ambil keputusan impulsif. Sebenarnya nggak butuh-butuh amat, atau nggak ada di daftar yang ingin dicapai. Tapi karena disodorin pilihannya ya kenapa nggak diambil.

Tanpa sadar konsekuensi dari mengambil itu mungkin justru membuat saya jadi butuh waktu lebih lama untuk mencapai apa yang benar-benar saya mau.

Atau malah setelah dimiliki jadi bingung sendiri, “mau diapain ya ini? Dipajang cuma nambahin debu, nggak bagus-bagus amat. Dimainin juga nggak yang seru gimana banget gitu.”

Mungkin itu gunanya goals, resolusi, bucket list, doa, atau apa lah terserah nyebutnya apa, yang intinya mirip-mirip.

Supaya nggak gampang tergoda kalau tiba-tiba ada yang nawarin Nerf otomatis. Sepaket. Isi dua. Dengan harga diskon.

Dari situ saya juga belajar, ya sudahlah, kalau Abra mah nggak usah ditawarin di tempat. Mendingan ajak jalan, biar dia pilih yang dia mau. Tapi jangan dibeliin, biar dia sempat liat-liat yang lain dulu, sempat mikir dulu beneran mau atau nggak. Pulang dulu dari mal. Biar dia cari dulu di YouTube kalau emang niat banget. Kalau dah benar-benar pengen banget, baru kasih terms and conditions supaya semakin berasa perjuangan dapetinnya.

Jadi dia nggak datang ke saya-saya marah-marah nggak jelas di tengah kemumetan saya ngurusin cucian baju paska-liburan yang nggak kelar-kelar.

Leave a Reply