Belajar Bersama Anak

Photo by Jordan Whitfield on Unsplash

Hilih, judulnya sok iye banget, padahal cuma numpang curhat.

Abra sekarang sedang ikut les piano. Di tempat les nya ini, untuk anak-anak yang usianya 4-6 tahun, memang harus ditemani oleh orang tua les nya, jadi kami harus selalu ikut serta sesi belajarnya. Di level satu kemarin, Pancit yang menemani Abra latihan.

Di level dua, dengan semena-mena Pancit menyuruh saya untuk menemani. WOW!

“Apakah dia mau anaknya trauma hingga tidak mau belajar piano lagi?” pikir saya dalam hati.

Pertanyaan saya ini bukan tanpa alasan. Semua yang kenal saya pasti tahu stok sabar saya tipis banget, belum lagi cara bicara yang sudah kasar dari lahir. Bahkan Pancit sendiri dulu bilang dengan tanpa memikirkan perasaan saya, “kamu tuh dulu kalau ngomong sama orang tua kayak kurang sopan gitu asal aja ceplas-ceplos.”

Padahal saya paling tidak suka berkata kasar, kecuali dalan hati dan pikiran sendiri. Hhhh.

Kesabaran saya yang sudah tipis di kehidupan sehari-hari itu akan menjadi lebih tipis lagi saat ngajarin orang. AARRRGGHHH!!! Tidak baik untuk kesehatan mental siapapun! Saya ga suka orang lemot, makanya saya mulai ga suka dengan diri saya sendiri karena saya mulai lemot.

TERUS SAYA HARUS BANTUIN NGAJARIN PIANO KE ANAK LIMA TAHUN?? SEMENTARA SAYA SENDIRI BUTA NADA?? ARE YOU NUTS??!!

Tapi ya sudah, saya jalani. Berawal dari, “wah ternyata tidak sesusah itu!” sampai akhirnya sampai di titik sekarang.

Kalau Abra itu seorang Youtuber, pasti dia bilang, “susah banget ga ngerti lagi, pengen meninggal!”

Karena terlanjur berpikiran kalau itu susah, maka semakin susah juga lah ngajarinnya. Semakin frustrasi lah saya.

Tadi malam kami terpaksa belajar, karena ada les hari ini. Kami belajar satu lagu. Lima belas menit berlalu. Abra masih ga bisa juga. Dia mulai kesal pada dirinya sendiri.

Hahaha.

Kayaknya satu-satunya yang menahan saya untuk tidak meledak itu adalah karena melihat dia frustrasi.

Kan ada ya anak yang ga bisa, tetap cengengesan, terus ya bodo amat gitu. Kalau misalnya Abra kayak gitu ya sudah pasti saya tinggalin lah, ga bakal saya temenin belajar, buang-buang waktu.

Tapi dia itu pengen banget bisa, tapi ga bisa-bisa. Jadi frustrasi sendiri. Nangis. Sesenggukan.

“Aku payah, aku ga bisa-bisa. Aku pengen fokus. Tapi pikiran aku mikirin terus, ‘kapan selesainya, aku mau main, aku pengen didongengin ayah’. Tapi aku mau bisa.”

Kasian.

Karena saya cape juga, maka saya pun menawarkan satu opsi, ya sudahlah, gimana kalau kita berhenti saja les piano nya, biar bisa main?

“GA MAUU! AKU BISA!” sambil sesenggukan.

Meh.

(Ini adalah post yang sudah lama bersarang di draft. Tapi baru dipublish di 2022. Ckckck)

Leave a Reply