Melahirkan: Harapan vs Kenyataan Bag. 2

Baca ini dulu ya: Melahirkan: Harapan vs Kenyataan Bag. 1

Bersama mama dan adik. Dengan mama yang sibuk menelepon papa. Kemudian apakah Anda tahu apa yang dilakukan oleh papa saya?!!

Dia minta saya NGURUS BPJS dulu!!!

GRAAAAHHH!!! Saya berubah jadi Indominus Rex. Sebal.

Tapi berhubung saya mau melahirkan, jadi saya takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan akhirnya saya dikutuk jadi batu karena durhaka. Ya sudah saya turuti.

Saat itu saya ga ada indikasi caesar sama sekali. Dan BPJS tidak mengcover biaya melahirkan normal di rumah sakit. Jadi saya tahu persis ini ga akan berhasil. Dugaan saya meleset. Ini tidak berhasil dan berakhir dengan cerita yang lebih mengenaskan.

Dibawalah saya ke klinik BPJS. Yang ga ada bidannya. Maka otomatis orang di sana bilang mereka ga bisa menangani orang hamil. Ga bisa juga ngasih surat rujukan ke rumah sakit besar karena mereka ya ga tahu riwayat hamil saya gimana. Saya pun disuruh ke Puskesmas.

SATU JAM ITU UNTUK PERJALANAN DAN CUMA DAPAT PENOLAKAN. SAYA NUNGGU DI MOBIL SUDAH HAMPIR MENYERAH.

“Udah pa, langsung ke rumah sakit saja. Insya Allah lahirnya normal.”

“Tanggung lah. Siapa tahu ada apa-apa. Kamu ga punya surat rujukan.”

APANYA YANG TANGGUNG??! INI SAKIT INI. SAYA NANGIS DI TEMPAT BISA LEBIH HEBOH DARI ARTIS SINETRON INI, BISA!! TERIAK PUN BISA LEBIH KERAS DARI T-REX SETELAH NGALAHIN INDOMINUS REX INI!!!

Rasanya saya ingin nenek saya kembali memasukkan papa saya ke perutnya. Random. Bodo.

Baca juga: Perkiraan Biaya Melahirkan di Depok

Akhirnya berangkatlah kita ke Puskesmas. Di sana sepi. Puskesmas tutup. Cuma ada dokter jaga. Empat orang. Cewe semua. Entah masih koas atau dokter baru.

Saya masuk ke ruangan periksa. Saya melihat keempat orang itu memakai sarung tangan. Pertanda tidak baik.

“Saya periksa dulu ya bu.” (periksa = VT)

“Iya silakan.”

“Ini kayaknya sudah pembukaan 4 ya,” tanyanya kepada koleganya yang lain.

YA MANA MEREKA TAHU?! YANG MASUKIN TANGAN KAN ELOOO!

(Maaf huruf besar semua, karena batin saya sudah berteriak-teriak saat itu.)

Dan oh, tentu saja para koleganya memiliki cara yang tepat untuk mencari tahu. YA, MEREKA JUGA MELAKUKAN VT. SEMUANYA. EMPAT-EMPATNYA. ADA YANG LEBIH DARI SATU KALI!! ******!!!

“Ini bukannya dah pembukaan 7 ya?”

“Bukannya itu kepala bayinya ya?”

“Ini sudah pecah ketuban belum sih?”

“Kok ada warna hijau ya, ketubannya sudah hijau?”

YA, SEMUANYA DALAM BENTUK PERTANYAAN. GA ADA YANG MEMBERI JAWABAN. Lalu mereka melihat ke arah saya.

Saya pun menengok ke Pancit, “bawa saya ke rumah sakit sekarang juga. Saya ga mau lahiran di tangan mereka.”

Jangan tanya soal surat rujukan. SETELAH EMPAT ORANG MELAKUKAN VT (DAN ADA YANG LEBIH DARI SEKALI), surat rujukan tak juga bisa diberikan. Bukan salah mereka juga sih, TAPI GA PERLU VT RAME-RAME KAN??!

Singkat cerita, sudah hampir Maghrib dan di tengah padatnya orang-orang yang mau berbuka puasa, mobil kami sampai di Hermina Depok.

Saya didudukkan di kursi roda. Seandainya ga duduk di kursi roda, mungkin saya hanya bisa ngesot ke ruang bersalin.

Begitu sampai di ruang bersalin,

“Kemana saja bu dari tadi, ini sudah pembukaan 7!” tanya susternya.

“JANGAN TANYA SUS!” jawab saya. Dalam hati.

“Saya mau pakai epidural bisa sus? Sakit nih,” jawaban itu yang keluar dari mulut saya.

Dengan kejamnya suster menjawab, “sudah pembukaan 7 nanggung bu. Ga guna lagi.”

APANYA YANG TANGGUNG??! INI SAKIT INI. SAYA NANGIS DI TEMPAT BISA LEBIH HEBOH DARI ARTIS SINETRON INI, BISA!! TERIAK PUN BISA LEBIH KERAS DARI T-REX SETELAH NGALAHIN INDOMINUS REX INI!!! PANADOL PUN BOLEH LAH SAYA MINUM DEMI NGURANGIN SAKIT!!!!

“Bapak tolong urus administrasi dulu ya.”

Saya ditinggal Pancit di ruang bersalin. Pancit pergi meninggalkan saya di ruang bersalin.

Saat itu saya ga mikirin. Bodo amat. Teuing. Ini sakitnya ga masuk akal. Bikin akal ga berguna. Lupakanlah segala mesra-mesraan dan foto cantik. Rasa sakitnya selesai saja sudah Alhamdulillah.

Baca juga: Cemburu Pada Anak yang Belum Lahir

“Jangan ngeden dulu ya bu. Nanti takutnya anaknya nyangkut.”

“Jangan ngeden dulu ya bu. Nanti malah pup.”

“Jangan ngeden dulu ya bu. Nanti ambeyen.”

“Jangan ngeden dulu ya bu. Nanti pembukaannya ulang lagi dari satu loh!”

EH GILE! Ini badannya ngeden sendiri. Mungkin badan saya kebanyakan belajar dari abang pom bensin. Dimulai dari nol ya.

“Sus, yakin nih belum pembukaan 10?” tanya saya. Dalam hati.

“Sebentar ya, nunggu dokternya datang, lagi buka puasa,” susternya seakan menjawab.

AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!

Saya teriak beneran. SAKIT.

Kalau rasa sakit kayak gini ga menghentikan orang untuk punya anak banyak, ga peduli apapun rencana pemerintah, program Keluarga Berencana mereka hanya akan jadi rencana semata.

Nih ya, saya sudah pernah jatuh dari motor yang mukanya keseret aspal, terus muka saya rusak sebelah, tapi, dibandingin detik-detik jelang melahirkan, itu rasanya kayak digigit semut!

Lalu saya terpikir random,

“Sus, boleh pegang tangannya ga?”

“Boleh bu.”

Begitu kontraksi saya remas saja tangannya. Iseng.

“Aaaaa!” susternya ikut teriak.

Yes, berbagi kesakitan. Haha. Puas. Tapi cuma sekali sih. Kasian.

Dokter pun datang. Sapa-sapa sebentar, cek dalam lagi.

SUMPAH YA, SIAPAPUN YANG NEMUIN ALAT UKUR PEMBUKAAN YANG GA MENYEBALKAN, GUE DOAIN MASUK SURGA (diijabah apa nggak terserah Tuhan ya :P)

Akhirnya saya dibolehkan ngeden. Dengan posisi ngangkang.

“Bu kurang ngangkang ini. Ga pernah senam hamil ya?” tanya dokternya.

“Eh buset. Saya ngangkang mulu dok tiap hari! Tanya aja mama saya. Dia marah mulu saya duduk ngangkang tiap hari,” jawab saya. Tentu saja dalam hati.

“Bu ngedennya salah.”

“Iya dok. Maap. Sakit. Lupa. Hilang akal.”

Setelah dua atau tiga kali ngeden, akhirnya lahirlah Abra ke dunia.

“Suaranya kenapa mencicit. Kata orang bayi keluar nangisnya keras?!” tanya saya. Tentu saja dalam hati.

SEPANJANG PROSES ITU PANCIT GA ADA. Dia di luar. Ngurus administrasi.

Setelah anaknya lahir, baru saya lihat dia nongol juga. Katanya dia dipanggi suster,

“Pak, pak, yang istrinya di dalam kan? Itu anaknya dah lahir loh, sini cepetan!”

Begitulah. Lupakan impian sakit-sakit ditemenin sama Pancit. Tapi di ruangan itu, sayapun ga terlalu peduli sih. Asal sakitnya usai saja saya sudah sangat senang.

Abra lahir. JRENG! Sakitnya hilang! WOW! MAGIC!

Mungkin ada beberapa ibu yang nangis saat anaknya lahir itu terharu karena akhirnya sakitnya hilang.

Saya mendengar Pancit adzan dan iqamah. Sambil dijahit. Haha. Ga berasa sih dijahitnya. Saya ngantuk.

Jadi nih ya, setelah perjuangan panjang ngelahirin, saya adalah orang paling terakhir di ruangan itu yang melihat anak yang saya lahirin. Meh!

Akhirnya Abra dikasih ke saya untuk Inisiasi Menyusui Dini (IMD). Suster dan dokter sudah beberes dan kami ditinggal bertiga. Hingga Pancit pun akhirnya pergi mau lanjut ngurus administrasi. -.-

Lama kali tu IMD. Tapi, Abra malas. Saya ngantuk. Kompak.

Selesai sudah perjuangan saya hari itu. Saya baru bertemu Abra keesokan harinya.

Dramanya selesai? Oh tentu tidak, tapi kita sambung lain kali saja ya…