Baca dulu bagian pertamanya di sini yaa…
Setelah pindah kasur dan dadah-dadah sama Pancit, saya pun masuk ke dalam satu ruangan yang mirip laboratorium Kimia. Tembok berkeramik putih, terus ada inkubator, dan entah apa lagi yang membuat saya merasa itu seperti laboratorium Kimia.
Saya pikir, “Oh, ruang operasi sesar tuh kayak gini.. Kok ga kayak ruang operasi di TV atau film ya.”
Tiba-tiba susternya pergi. Dan saya ditinggal sendiri. “Loh loh, orang-orang pada ke mana?”, saya pikir. Ternyata oh ternyata, DOKTERNYA BELUM DATANG!
YASSALAM. Itu saya masih kontraksi loh! Masih sakit! Kenapa saya sudah dipisahkan dari Pancit kalau dokternya belum datang. Saya kan jadi ga bisa remes-remes tangannya Pancit. Pancit harus ikut merasakan sakit yang saya rasakan! Ini kan anak dia juga! Enak banget dia tinggal nunggu di depan. Meh! #istridurhaka
Eh, tapi entah karena anak kedua, atau karena berbagai kata-kata motivasi bin menguatkan yang sudah disampaikan Pancit selama hamil Kail, kontraksi kali ini saya ga berkeluh-kesah atau ingin melepaskan rasa sakit dengan teriak. Tarik napas buang napas aja gitu. This too shall pass. Sudah pernah merasakan jatoh dari motor muka keseret, sudah pernah merasakan kontraksi sampai lahiran normal, toh akhirnya semuanya juga berlalu. Jadi kali ini saya lebih selow.
Tapi tetap saja sakit. #kekeuh
Setelah nunggu sekian lama (bagi saya sih rasanya lama banget, kan sambil sakit sendirian, ga ada Pancit), akhirnya saya digeret ke ruang operasi. Dokternya sih belum datang, tapi kayaknya sudah dekat, jadi saya sudah boleh dibius katanya. Saya dibius lokal ya btw.
“Nanti setelah dibius badannya jadi hangat, terus rasanya kayak kesemutan ya. Tapi tanda pertama yang paling keliatan sih harusnya kontraksinya langsung ga berasa,” kata dokter anestesinya.
Sambil dokternya siap-siap, dia minta asistennya pegangin kaki saya. Saya disuruh tidur miring. Terus pas mau disuntik, tiba-tiba kontraksi, “Tar dulu dok, mau kontraksi nih, tar saya goyang-goyang pula. Sus sus, kaki saya boleh dilepas dulu ga? Kontraksinya makin sakit kalau kakinya rapat.”
Lalalala.. Sabodo teuing.
Akhirnya kontraksinya selesai. Dokter anestesinya nyuntik tulang belakang saya. Tulang belakang bawah banget. Ga tahu sih rongga ke berapa. Dekat-dekat pinggang sana. Di tengah proses, tiba-tiba kontraksinya mau datang lagi. Saya pun melenguh macam sapi.
“Sabar ya bu, jangan goyang, tinggal dimasukin obatnya aja,” kata dokternya.
Saya pun sabar-sabar ga goyang, karena males ngulang lagi kalau goyang. Semakin lama ngerasain kontraksinya atuh lah nanti kalau ngulang.
Selesai bius! SAKIT KONTRAKSINYA HILANG!!! UYEAAAH… Rasanya saya pengen joget-joget, sayangnya saya ga bisa gerakin kaki sama sekali, jadi batal joget.
Setelah dibius memang badan langsung terasa hangat dan kesemutan dari perut ke bawah. Kesemutan yang parah gitu, bukan “kayak kesemutan” seperti kata dokternya. Saya coba gerakin kaki ga bisa, agak aneh gitu ya rasanya.
Terus di antara muka saya dan perut dikasih pembatas dan baju operasi saya dijadiin kain penutup. Itu berarti, dari perut ke bawah ga ada kain selembarpun yang menutupi badan saya! AAAAAA!! Pelecehan seksual!
Dulu pas lahiran normal saya paling benci sama periksa dalam kan, nah lahiran sesar ini periksa dalamnya paling sedikit, tapi kita ditelanjangin mulu di mana-mana. Hhhhh. Ga ada proses melahirkan yang tetap menghargai batasan-batasan aurat apa??!!
Sama susternya ditanya, “Bu, kelihatan perutnya nggak?”
Saya lihat ke depan dan ke atas, ga kelihatan apa-apa. Oke, aman. Tiba-tiba saya geser kepala dan lihat ke atas. Dari tiang lampunya kelihatan doooong!
Kelihatan juga itu badan saya diobral tanpa sehelai kain pun. Hhhh…
Dokter kandungannya pun datang, dia ngajak saya ngobrol, tapi yang ada di pikiran saya cuma “AAAA! Itu badan gw diobral di bawah! Plis laaah. Meskipun dokternya cewe juga.. Atuh laaah.”
Oh btw, meskipun dokter kandungannya sudah sengaja pilih dokter cewe, biar ga terlalu malu-malu amat, tapi ternyata di ruang operasi itu minimal ada empat dokter, dokter kandungan, dokter anestesi, dokter anak, satu lagi dokter apaan gitu saya lupa, dan beberapa suster asisten operasi. Nah dokter-dokter lain dan asisten operasi ini bisa cowo ya hastagaaaaahhh… Mungkin karena saya operasinya mendadak kali ya (atau saya bodoh bin uninformed saja), ga tahu deh aslinya bisa ga minta semua yang ada di ruang operasinya cewe aja dooong..
Akhirnya badan saya ditutup kain operasi yang warna hijau itu dan hanya menyisakan tempat terbuka di bagian perut yang mau dioperasi.
Prosesi operasi pun dimulai. Pertama perut saya dikasih betadine (atau semacam itu, entahlah, pokoknya warnanya kayak betadine). Terus perut saya mulai dipotong. Satu kali, dua kali, “Eh eh itu kok dipotong mulu ya berlapis-lapis, kapan kelarnya,” kata saya dalam hati.
Melihat perut saya dipotong berlapis-lapis, saya antara takut mau terus ngelihat, tapi juga kepo. Akhirnya kekepoan mengalahkan rasa takut. Tapi sayangnya, tidak mengalahkan rasa mual. Haha.
Campur aduk mual ngelihat perut sendiri dipotong dan kemudian terasa diubek-ubek sama dokternya, saya pun akhirnya muntah. Berkali-kali. Byar! Sangat tidak elegan.
Dokternya kemudian mengganjal perut saya dengan sesuatu dan menarik keluar anak saya. Yang pertama saya lihat itu pantat anak saya. Hahaha. Itu agak lama juga saya lihat pantat doang, Baru kemudian saya melihat bayinya benar-benar diangkat dari perut saya.
“Kasih lihat anaknya, terus langsung kasih obat tidurnya saja.”
Ga lama setelah ditarik keluar dan dibersihkan sedikit, anak saya dibawa ke dekat saya.
“Anaknya laki-laki ya Bu,” kata susternya. Setelah tadi yang pertama saya lihat itu pantat si bocah, sekarang pas dibawain sama suster, yang pertama saya lihat itu penisnya. Baiqlah. Baru kemudian saya dikasih lihat mukanya. Haha.
Setelah itu saya tidur. Bangun-bangun sudah di ruang pemulihan. Jadi ga sempat kepo gimana dijahitnya lagi deh. Haha.
Di ruang pemulihan saya harus menunggu beberapa jam sebelum bisa dibawa ke kamar. Baju saya digantikan oleh suster (atau asisten, entahlah, saya ga bisa bedain bidan, suster, atau asisten di rumah sakit). Yang berarti saya ditelanjangin lagi. Lalalala.
Ga berapa lama setelah masuk kamar, asisten yang sama datang lagi, untuk bersih-bersihin saya. Ditelanjangi lagi. Besok paginya dia datang lagi (karena saya masih susah gerak), ditelanjangi lagi. Hastagaaaaah. Belum lagi ada obat penahan sakit yang dimasukinnya dari anus. Apa itu malu? Saya sudah tak punya malu lagi di sana rasanya.
Kalau lahiran normal kemarin saya sudah bisa jalan bebas ke sana ke mari setelah bangun tidur, kali ini saya hanya bisa bengong di tempat tidur saja. Miring kanan kiri pun masih susah, tapi disuruh latihan sama susternya, jadi yaa mau ga mau lah. Karena ga bisa bangun, proses nyusuin pertama pun dilakukan sambil tiduran. Sedikit lebih susah daripada biasanya yaaaa.
Keesokan harinya kateter dilepas dan saya pun disuruh belajar turun dari kasur dan berjalan-jalan. Proses menyusui sih mirip-mirip lah yaa, sama-sama masih susah pelekatan, saya sudah lupa gimana cara pelekatan dan Kail masih belajar. Jadi ya masih banyak nangis-nangisnya si Kail.
Kail lahir di Hari Kamis, Hari Minggu saya sudah boleh pulang sama dokternya. HURRAY!
Sekian dulu ceritanya.
Kalau disuruh milih, lebih suka lahiran normal atau sesar, saya lebih suka lahiran normal.
Kalau disuruh milih, nanti seandainya lahiran lagi maunya normal atau sesar, saya akan bertanya balik, ada yang lebih ga sakit ga siiih? Atuhlah dua-duanya sama-sama sakit dan banyak proses menyebalkannya. Hhh..