Kalau tidak melupakan, apakah bisa dikatakan kita telah sepenuhnya memaafkan?
Di tengah suasana lebaran seperti ini, kata maaf bertebaran di mana-mana, entah diucapkan dengan tulus, atau sekedar menyalin kata-kata dari grup sebelah.
Tadi saya lagi mandi lalu tiba-tiba kepikiran peristiwa maaf-maafan ini – saking kepikirannya sampai mecahin gelas tempat odol 😥
Hampir setiap saya bertemu dengan mantan adik kelas atau kawan lama, selalu ada saja celetukan yang bunyinya kurang lebih seperti ini, “Aku ingat banget waktu itu kamu bilang [kalimat-kalimat bijak nan alay yang saya sudah lupakan].”
Kalau kalimat-kalimat ngasal yang dengan begitu mudahnya saya lupakan saja ternyata membekas di hati mereka, apalagi kalimat-kalimat yang menyakiti hati?
Mungkin maaf sudah terucap dan maaf sudah diterima, tapi hubungan antar si pemberi dan penerima maaf itu rasanya nggak akan pernah sama lagi.
Setiap si A melihat si B, A akan selalu mengingat konflik yang pernah terjadi di antara mereka.
Saat si Z bertemu si Y, mungkin dia akan terusik karena perbuatan si Y sempat merusak hari indahnya.
Ketika si L bertemu si N, si L akan lebih memilih diam karena si N pernah menyebarkan ucapannya yang seharusnya dirahasiakan.
Atau mungkin saya hanya lebay dan kurang ikhlas.
Tapi, apakah benar semuanya dimulai dari nol setelah kata maaf terucap?
Apakah memaafkan berarti harus melupakan?