Kita adalah satu.
Satu badan.
Satu hati.
Satu rasa.
Satu pikiran.
Kita adalah satu.
Hingga waktu itu datang.
Saat satu dipaksa menjadi dua.
Perpisahan. Chapter yang selalu mengurai air mata dalam setiap cerita cinta yang terpisahkan oleh jarak.
Tak terkecuali bagi kami.
Kami bukannya tak bisa hidup sendiri. Kami sudah terbiasa menjalani hari tanpa pasangan hidup kita. Kami sudah terbiasa melewati malam dengan mimpi – mimpi bersama, karena jarang sekali realita menautkan tangan kami menjadi satu. Kami bisa menjalani hari – hari tanpa setetespun air mata, meski rindu memuncak di ubun – ubun.
Tapi perpisahan? Tak sekali dua kali, air mata mengiringi jarak yang kian terbentang.
Mungkin ini yang dirasakan amuba saat membelah diri.
Mungkin ia juga merasakan sakit yang sama. Perih. Seakan seluruh rindu dilunasi di muka.
Satu yang dipaksa menjadi dua.
Terus ditarik oleh tangan raksasa yang tak terlihat. Memaksa satu menjalani dua kehidupan yang berbeda.
Bagaikan hukuman dari para dewa, seperti para amuba yang melayang bebas itu, kami juga harus mengalami pembelahan ini berkali – kali. Sakit.
Tetapi, meskipun kami terpisah, sebagian aku ada padanya dan sebagiannya ada padaku. Hatiku adalah miliknya dan hatinya adalah milikku.
Saya sedang bereksperimen, menuliskan teori absurd dengan gaya yang agak serius, tapi masih diselipi lelucon, bagi yang mengerti 😛
Untuk yang ga ngerti, intinya, perpisahan itu menyedihkan. Lebih menyedihkan daripada saat terpisahnya itu sendiri. Jadi, mungkin amuba juga merasakan sakit seperti itu saat dia harus membelah diri. Ya udah, gitu aja sih. Haha.