Disclaimer: Tulisan ini dibuat setelah membaca blog teman saya, yang memberi link ke sini (hi mba AST dan mas JG! Salam kenal #sokiye). Tulisan ini dibuat hanya untuk memberi perspektif yang lain, dari orang yang sedang menjalani LDR setelah nikah.
“Nanti kalian tinggal satu rumah dong ya di sana, jadi bisa menghemat pengeluaran setelah nikah?”
“Enggak tante/om. Saya tinggal di Ankara. Kalau istri tinggal di Istanbul. Kalau naik bis sekitar 6 jam lah.”
“Oh, jauh juga ya. Seperti Jakarta – Cirebon. Ngapain nikah kalau gitu? Hahaha.”
Seperti itulah kira – kira gambaran percakapan kami dengan keluarga saat berkeliling ke rumah – rumah mereka setelah menikah. LDR setelah menikah memang kurang lazim bagi mereka yang besar dan berkeluarga di tanah Jawa, meskipun keluarga saya dan Pancit berasal dari Sumatera, yang cukup terkenal dengan kebiasaan merantaunya.
Jadi kenapa LDR?
Setiap orang memilih waktu yang berbeda – beda untuk melangsungkan pernikahannya. Dan saat saya bilang waktu, itu lebih dari sekedar memilih satu hari dari 365/366 hari yang tersedia dalam satu tahun. Ada orang yang memilih untuk menikah saat sama – sama telah memiliki pekerjaan tetap, ada yang memilih menikah saat mereka sudah bisa berada di satu kota, ada yang memilih menikah selang beberapa hari setelah wisuda, ada juga yang memilih menikah saat masih sama – sama kuliah, dan saya percaya tak ada yang salah dari pilihan – pilihan itu. Semuanya ada konsekuensinya masing – masing.
Saya memilih menikah saat saya dan Pancit masih kuliah di kota masing – masing. Konsekuensinya, setelah menikah kami masih harus melanjutkan studi kami di kota yang berbeda.
Waktu dengan orang – orang tersayang memang sangat berharga dan, sayangnya, waktu hanya berjalan ke satu arah. Semua orang tahu itu, meski hanya sedikit yang benar – benar mengerti (contoh kecil yang tidak mengerti bisa kita lihat di sinetron – sinetron yang menggambarkan orang tua kaya dengan anak yang kurang perhatian). Lalu mengapa saya dan Pancit memilih untuk menikah meskipun tahu harus LDR? Or, let me rephrase it, why the f***ing hell do we do this?
Bersama – sama ada di satu tempat bisa terwujud seandainya kebutuhan primer kita sebagai manusia terpenuhi kan? Artinya, kita masing – masing harus mendapatkan sandang, pangan, dan papan yang layak (apalagi dengan perut Pancit yang semakin membuncit, kebutuhan akan pangan tentunya semakin bertambah). Sejauh ini kami tidak melihat bagaimana kebutuhan primer itu bisa terpenuhi jika kami tinggal bersama dalam satu kota. Bahasa kasarnya, apa gunanya tinggal di kota sama, jika salah satu tidak dalam keadaan bernyawa karena kebutuhan primernya tidak terpenuhi. (Setelah ditulis, kalimat ini horor juga ternyata :p)
Saya yakin, mereka yang melakukan LDR setelah menikah pun sudah mengusahakan untuk berada di kota yang sama dengan kekasih hatinya dan berani mengambil resiko untuk hidup kekurangan, seandainya hidup kekurangan adalah sebuah opsi. After all, siapa sih yang mau menjalani malam – malam sendirian, saat ada pilihan untuk menghabiskannya dengan tawa canda bersama pasangan (dan anak – anak)? Tetapi, truth be told, terkadang hidup kekurangan pun bukanlah sebuah opsi.
Saya rasa mereka yang sudah pernah mengalami LDR sangat paham bahwa waktu bersama orang – orang tercinta jauh lebih berharga dari sekedar harta belaka.
Terlebih, coba kita lihat LDR setelah menikah dari sudut pandang yang sedikit berbeda. Jika dilihat dari suatu sudut pandang, memang menikah tetapi tinggal terpisah terlihat sebagai sebuah pemborosan waktu. Tetapi, saya dan Pancit memilih untuk menikah, meski LDR, supaya kami memiliki waktu lebih banyak dengan satu sama lain. Jika hubungan kami sekedar teman/pacar, kami hanya punya waktu sepanjang siang. Kami tak akan bisa tertawa – tawa sampai salah satu tertidur, kami tidak bisa memandangi wajah pasangan saat ia masih tertidur (Pancit does it. I can’t. I love sleeping too much), kami tidak bisa memasak bersama di rumah kontrakan, saya tidak bisa nonton Running Man seraya bersandar di bahunya, dan saya tidak bisa pakai kaus jelek Pancit. Kami tidak mau menghamburkan waktu kebersamaan kami dengan menunda pernikahan hanya karena kami belum bisa tinggal di kota yang sama.
Pilihan kami untuk menikah bisa menambah waktu untuk bersama – sama, meskipun LDR. Tidak maksimal bukan berarti tidak optimal.
Itu tadi sudut pandang yang lain mengenai LDR. Bagi yang tidak menjalani LDR, SELAMAT MENIKMATI HARI – HARI DENGAN PASANGAN 🙂 Dan doakan kami yang masih LDR, semoga dicukupkan rejekinya agar bisa tinggal bersama keluarga kami masing – masing di bawah satu atap. Cheers!
aku sebentar lg menikah dan ldr
Good luck! Semoga lancar 😀