Sebagai seorang yang telah berkeluarga, salah satu pertanyaan yang paling sering menghantui adalah kapan punya rumah sendiri. Masalahnya, memiliki rumah sendiri itu bukan sekedar punya cukup uang untuk DP dan kondisi finansial yang aman untuk melunasi KPR. Punya rumah sendiri juga berarti siap untuk settle di lingkungan yang sama selama bertahun-tahun, berkomitmen untuk merawat dan menjaga kondisi rumah, membangun relasi yang baik dengan tetangga, dan bagi saya itu jauh lebih sulit daripada mengumpulkan uang untuk beli rumah langsung cash.
Saya masih ingat waktu saya memiliki kamar sendiri saat SMP. Rasanya seperti tinggal di rumah yang berbeda dari keluarga. Kebetulan kamar saya letaknya paling belakang dan sebagai bocah remaja kekinian pada zamannya, saya lebih sering di luar rumah dan mengurung diri di kamar mendengarkan radio saat berada di rumah daripada berkumpul bersama keluarga.
Masuk SMA, saya pindah kota. Saat kuliah pun memilih hijrah ke Turki karena merasa sudah cukup bosan dengan Bandung. Semasa kuliah, saya pindah-pindah tempat tinggal satu tahun sekali. Ganti-ganti teman rumah tak terhitung berapa kali. Senang, tak perlu berkomitmen dengan orang yang itu-itu saja. Nggak ribet. Selalu berpisah dalam keadaan baik, belum sempat ngajak ribut. Haha. Lanjut S2 pun saya kembali memilih untuk mengungsi ke kota lain.
Pernah ada yang bertanya, “kok kamu berani ya selalu keluar dari comfort zone kamu?” Tidak, saya tidak keluar dari zona nyaman saya sama sekali. Berpindah-pindah adalah zona nyaman saya. Menghindari komitmen terhadap tempat dan orang-orang. Terlebih saya orangnya cukup loyal jika sudah cinta, pastinya akan ribet kalau saya terikat dengan banyak hal.
Perasaan itu berlanjut sampai sekarang. Saya masih tidak ada niatan membeli rumah sendiri.
“Ya ga usah ditinggali, untuk investasi saja, jaga-jaga kalau ada apa-apa di depan.” Masih banyak bentuk investasi yang lain. Investasi properti yang dilakukan oleh orang awam sebenarnya sering kali tidak menguntungkan. Ga percaya, gih sana tanya detailnya ke konsultan keuangan.
“Lalu anak gimana? Diajak pindah-pindah gitu?” Ya karena dia masih kecil, mau ga mau harus ikut orang tuanya lah. Kalau kami pindah, ya berarti dia harus pindah juga. Haha. Belum mempertimbangkan yang tiap tahun harus pindah kota atau gimana juga kok, paling beda-beda RT/RW/kecamatan gitu. Refreshing lah, ganti teman main, ganti jalur ojek. Tapi ya lebih asik lagi kalau bisa pindah-pindah kota sih memang, biar kayak Taro Misaki, seantero Jepang dan Perancis kenal dia semua. Haha.
“Tapi kan repot harus pindahan setiap tahun.” Buat apa ada asisten. Haha.
“Lalu kalau sudah tua gimana?” Rencananya sih masuk panti jompo di Denmark.
Begitulah. Tapi ya seperti hal-hal lainnya, pemikiran saya sih jangan dipercaya, bisa jadi begitu Anda selesai membaca tulisan ini, saya sudah membeli rumah di samping kediaman Anda. Cheers!
Juara lah mau masuk panti jompo di Denmark 😂😂😂😂 tapi iya juga sih. . Ga kepikiran klo beli rumah itu berarti harus settle sama lingkungannya juga 🤔
Aku masih obsesi banget sama Denmark.. Visa dan beasiswa yang kuperjuangkan dengan susah payah (lebay :P) terbuang percuma.. Huuuu..