Beberapa hari ini saya sedang membantu mengajar les semi privat untuk mata pelajaran Matematika tingkat SMP. Muridnya beragam, mulai dari yang mandiri dan butuh sedikit penjelasan saja, hingga yang harus diawasi terus menerus dan penambahan pengurangan saja masih belibet. Kesabaran saya, yang memang tipis banget, diuji habis-habisan oleh anak-anak tipe terakhir itu.
Ayah saya termasuk orang yang tegas, apalagi dalam hal Matematika, entah karena beliau orang Padang atau apa. Saat teman-teman saya masih belajar penambahan dan pengurangan dengan alat bantu (lidi atau jari, misalnya), saya sudah digeber untuk bisa menghitung di luar kepala. Di saat mereka masih menikmati pecahan biasa dengan penyebut sama, saya sudah dituntut untuk bisa mengerjakan operasi pecahan campuran dengan penyebut berbeda. Karena terbiasa dididik seperti itu, saya jadi gampang banget geregetan sama orang-orang yang operasi dasar matematika-nya kacau.
Jadi, kebayang kan, bagaimana frustasinya saya harus berhadapan dengan anak-anak SMP tadi. Bahkan, sempat terucap keengganan saya untuk menjadi working mom karena tidak ingin anak saya jadi seperti itu. Anak saya harus bisa Matematika dengan baik dan benar. Anak saya harus bisa menangkap pelajaran dengan cepat dan ga nyusahin gurunya di sekolah. Pokoknya anak saya harus jadi anak yang berprestasi di sekolah.
Untungnya tidak lama saya terjebak dalam pemikiran tersebut, saya seperti tersadarkan setelah membaca blog post ini.
Saya sempat lupa kalau kepintaran tak hanya diukur dari nilai di sekolah, atau seberapa cepat kita bisa mengalikan dua bilangan ratusan. Saya sempat lupa kalau kebahagiaan bisa didapat dengan banyak cara lain selain mendapatkan peringkat di sekolah.
Saya ingin anak saya selalu berbahagia dalam hidupnya, tak peduli apakah dia jago Matematika atau tidak.