Quarter Life Crisis + A Child

 

Trust me, it’s a recipe for a disaster!

Haha. *ketawamiris

Karena saat menghadapi ini, yang bisa saya lakukan hanya ketawa miris.

Jadi, a little bit about myself first, saya orang introvert. Saya suka ngobrol dan bersosialisasi dengan orang lain, tapi semua itu membutuhkan energi yang luar biasa banyaknya. Dulu, setiap habis kumpul-kumpul sama teman, saya pasti menghabiskan banyak waktu sendirian untuk mengisi ulang energi saya.

Awal nikah saya LDR dengan suami, jadi waktu sendiri masih aman.

Begitu hamil, tinggal bareng suami, di rumah orang tua, ga ada waktu sendiri. Stres. Hingga akhirnya punya anak, yang 24 jam masih tergantung sama emaknya, “matilah awak”, pikir saya waktu itu.

Tiga bulan berlalu, saya merasa ga sanggup jadi ibu rumah tangga dan akhirnya dapat kerjaan di media, berbalik 180 derajat dari apa yang saya pelajari di kampus (teknik). Awalnya semangaaat 45 masuk ke dunia baru, begitu menjalani kok ya bosan. Haha. Akhirnya memutuskan untuk berhenti.

Sekarang di umur ke-25 hampir 26, masih mencari jati diri (dan kerjaan), masih butuh waktu sendiri, dan anak masih jerit-jerit heboh kalau saya masuk kamar mandi. Matilah awak.

(A little bit about myself-nya panjang ya ternyata.)

Kata orang ini namanya quarter-life crisis.

Gejala yang saya alami: galau parah ngeliat teman-teman udah pada punya kerjaan dan jabatan yang mapan, lebih parah lagi melihat mereka yang bisnisnya dah sukses.

Parahnya lagi, saya belum tahu langkah selanjutnya mau ke arah mana. Saya kangen rumus-rumus teknik, tapi masih tertarik sama dinamika media, dan tergoda dengan seksinya dunia programming. Hhh.

Sedih tiap lihat anak, karena ga maksimal jadi ibu, baik ibu rumah tangga, maupun ibu bekerja.

Yang tambah bikin sedih adalah Pancit yang selalu ngedukung dan nyemangatin saya, sementara sayanya tetap depresi kebanyakan pikiran, sampai akhirnya negara pun dipikirin, padahal urusan sama diri sendiri aja belum kelar.

Sejauh ini upaya pencarian jati diri yang telah dilakukan adalah dengan nginep di rumah mertua (rumah sendiri lumutan kosong melulu) dan main poker tiap malam. Haha.

Si mbel yang kemarin lumayan mandiri karena saya tinggal mulu kembali gelendat-gelendot ke saya terus. Seringnya bahagia digelendotin, tapi kadang bete, karena pengen sendiri. Ya padahal mah kalau sendiri juga ga ngapa-ngapain.

Udah ah, daaah…

Btw, yang baca tulisan ini dan berharap ada solusinya di akhir tulisan, maaf ya, saya harus mengecewakan Anda. Ini mah curhat doing isinya. Haha.

2 Replies to “Quarter Life Crisis + A Child”

  1. Setahu saya, semua orang mengalami hal itu mbak, so, you’re not alone, and don’t blame yourself. Saya juga introvert, dan suka dengan waktu-waktu sendiri. Coba cari me time di malam hari, saat semua orang tidur. saya dulu pakai cara itu, nggak terlalu menolong, tapi ya… daripada enggak he he he

    1. Iya mba. Sekarang seringnya ya saya menikmati waktu sendiri saat semuanya dah pada tidur. Bikin perjanjian sama suami dia yang megang anak pas pagi, jadi saya bisa santai bangun siang 😀

Leave a Reply