Welcome Alchemy!

Introducing the fourth member of Kediaman Meliala, son of Pancit, brother of Algebra,

Alchemy K. Meliala

Hello World!

You may call him Kail.

Abangnya Kail lahir maju satu minggu dari perkiraan. Waktu itu saya berharap Kail juga maju satu minggu, supaya waktu cutinya ga banyak kebuang sebelum si bocah lahir. Haha.

Ditungguin pas minggu ke-39 kok ga ada rasa mules sama sekali. Bahkan sempat becanda-canda juga sama teman kantor karena bocahnya ga ada tanda-tanda mau lahir. Eh ternyata habis becanda itu, malamnya langsung terasa kontraksi yang lumayan teratur dan konsisten sampai jam empat pagi.

Pas sahur, Pancit akhirnya nyuruh saya nge-WA dokter kandungannya (masih dr. Nelwati juga, sama kayak abangnya kemarin). Dan baru dibalas sama dokternya sekitar jam enam pagi.

Selama nunggu balasan itu, kontraksinya masih terus berlangsung. Belum yang sakit banget sampai harus teriak-teriak sih, tapi dah lumayan bikin saya harus tarik napas dan bersabar banyak-banyak. Hhh.

Selain itu, juga sempat terasa air keluar, tapi bukan pipis, karena saya ga bisa tahan sama sekali. Cairannya pun tidak berbau. “Oke, ” pikir saya, “mungkin itu air ketubannya rembes.”

Ga lama setelah WA nya dibalas sama bu dokter, tiba-tiba terdengar dan terasa DUK dari arah perut saya. Dengan sotoy saya bilang ke Pancit, “Ini mungkin kepala adeknya kejedot ya?”. Well, sebenarnya itu denial aja sih. Dari baca beberapa pengalaman orang melahirkan, saya punya gambaran kalau itu sebenarnya suara ketuban pecah. Posisi saya lagi tiduran saat itu. Dan ga mau berdiri. Takut beneran pecah.

Tapi daripada sudah pecah dan lama ga diproses, akhirnya saya memberanikan diri berdiri.

“AAAAAA!”, saya teriak sambil bingung. Air terus menerus keluar dari balik celana kayak habis naik dari kolam renang. Begitu saya gerakin celananya, keluar air lebih banyak lagi dari kantong celana. Hastagaaah..

Kalau dipikir-pikir sekarang sih ya lumayan lucu. Hahaha. Padahal habis bangun dari kasur, bukan habis berenang, tapi banyak banget airnya.. Hahaha.

Warna airnya pun kuning kehijauan. Atau hijau kekuningan. Atau hijau keruh? Pokoknya hijau, kayak air berlumut gitu, tapi ga ada lumutnya

“Ayo kita ke rumah sakit sekarang aja, ketubannya pecah ini,” kata saya.

“Tenang tenang, jangan panik, bun,” Pancit mencoba menenangkan.

Beda dengan kelahiran Abra, kali ini kami sudah sedikit lebih siap. Tas untuk ke rumah sakit sudah disiapkan beberapa hari sebelumnya. Jadi Pancit tinggal panggil mobil saja. UYEAH!

Untung pecah ketubannya juga jam enam-an pas bulan puasa, jadi jalanan masih kosong. Orang-orang masih pada belum bangun lagi habis sahur kayaknya. Jadi ga perlu nunggu lama sebelum mobilnya datang dan ga perlu bermacetan ke rumah sakit.

Sampai di rumah sakit langsung ke ruang bersalin dan dicek sama bidannya. Sudah pembukaan tiga katanya.

YEAAAHHH!!! Seenggaknya bukan pembukaan dua, trauma disuruh pulang lagi pas lahiran Abra kemarin. Haha.

Tapi karena ketubannya sudah pecah dan warnanya sudah keruh, bidannya bilang kita lihat hasil CTG bayinya dulu ya. Ya sudah, sendirian lah saya di ruangan itu sambil dengerin suara jantung si bayi. Dengerin suara jantung kayak gitu malah bikin saya sesak napas ya. Haha, Jantungnya cepat banget kan kalau bayi, jadi napas saya ikutan cepat-cepat, akhirnya malah sesak napas. Hahaha.

Pancit ga ada di ruangan karena lagi siap-siapin Abra untuk sekolah. Kebetulan sekolahnya dekat dengan rumah sakit. Jadi, Abra kita titipin ke nenek dan om nya untuk dianterin ke sekolah. Setelah beres urusan Abra, Pancit langsung balik lagi ke ruangan sama saya.

HOREE!! Ditemenin Pancit! Dalam hati bersorak gembira. Tapi tentu saja, alam semesta berkehendak lain. Hahaha.

Bidannya ngecek hasil CTG, “Hasilnya ga terlalu bagus bu. Saya tanya pendapat dokternya dulu ya.”

Oke, tunggu lagi. Perasaan sudah mulai ga enak. Hmmm. Kayaknya harus berujung operasi nih. Saya dulu lahir juga disesar karena ketuban sudah pecah duluan. Hmmm.

Bidannya kemudian datang, “Bu, Dokter Nel nya merekomendasikan untuk operasi, karena ketubannya sudah keruh dan takutnya bayinya stress dan keminum air ketubannya. Kalau misalnya mau operasi, langsung dijadwalkan untuk jam sembilan (saat itu sekitar jam tujuh lewat dikit).”

Petir menyambar di siang bolong

Saya lihat-lihatan sama Pancit, “Ya kalau direkomendasiin sama dokternya untuk operasi ya operasi saja kalau begitu.”

“Oke bu. Bapaknya sekalian proses untuk registrasi kamar dan operasinya ya,” bidannya pun pergi meninggalkan kami berdua.

“Ya kalau dokternya bilang begitu ya kita ikutin saja ya, daripada adiknya kenapa-napa. Lagian kan kita sudah pilih-pilih dokternya waktu itu dan harusnya ya kita percaya keputusan dia,” Pancit berkata bijak.

“Adiknya ga mau disamain sama abanngnya nih. Boleh sama laki-laki, tapi kami berbeda. Ha. Ha. Ha,” saya menghibur diri sendiri.

“Iya, dah diingatkan dari sekarang, kalau setiap anak tuh memang beda-beda, ga usah dibanding-bandingin, ga usah disama-samain,” tambah Pancit.

Lalu Pancit pun pergi mengurus registrasi kamar dan operasi.

Saya? Sendirian. Masih kontraksi. Masih kesakitan.

Ga sampe teriak sih, malu. Tapi dalam hati sih sudah meronta.

Bidannya balik lagi untuk kasih saya oksigen dan suntik tes alergi (atau apalah itu namanya). Saya sudah sempat dengar-dengar dari orang-orang katanya suntik untuk ngetes alergi itu sakit, terus suntik bius lokalnya apalagi. Tapi kayaknya sakit suntik alergi itu ketutupan sama sakit kontraksi ya. Haha. Ya sedikit lebih sakit dari suntik biasa sih, tapi ya biasa saja, ga yang sakit gimana-gimana sampai pengen ngeremes bidannya.

Lalu tiba-tiba terdengar angin segar dari bidannya, “Mau saya kasih suntikan pereda nyeri untuk kontraksinya bu?”

“MAUUU!! MAU! MAU! MAU!”

Lalu dia pun pergi. Saya berasumsi dia pergi untuk kembali – membawakan pereda nyeri ini.

Dia pun kembali, meminta saya ganti baju jadi baju operasi. Lalu tiba-tiba dia bilang, “Suntikan pereda nyerinya ga usah ya bu, nanti kontraksinya jadi ga bagus setelah operasinya.”

Mengapa kau memberikan harapan palsu kepadakuuuu?

Ga lama dokter anestesi datang dan menjelaskan prosedur untuk biusnya. Intinya, suntikan akan dilakukan di antara ruas tulang belakang. Pertama disuntik dulu, baru dimasukin obatnya. “Semoga bisa satu kali langsung berhasil ya bu,” kata dokternya.

Hmmm. Mencurigakan.

Pancit pun akhirnya kembali. Dan bidan beserta seorang suster laki-laki bersiap membawa saya ke ruang operasi. Pancit ga boleh ikut.

PANCIT GA BOLEH IKUT!

WTF. Perasaan orang-orang pada foto-foto di ruang operasi bertiga sama anaknya pas IMD-an, kenapa saya harus sendirian di ruang operasi?

Jadi percuma kita sudah bayar tabungan biaya rumah sakit, tapi akhrinya Pancit ga bisa lihat anaknya lahir juga. Hastagaaahhh.. Nasib gw begini amat.

Saya pun pindah kasur dan siap didorong ke ruang operasi.

Pancit cuma bisa cium-cium pipi dan dadah-dadah saja.

ARGH! Menderita sendirian lagi. Ku tak suka.

Dah kepanjangan nih. Bersambung yaaaa….

Leave a Reply