Menjadi Ayah Profesional

Berdasarkan riset yang saya lakukan terhadap dua orang: papa dan papa mertua, ada dua syarat yang harus dipenuhi oleh seorang lelaki untuk bisa menjadi ayah profesional.

1. Bisa memasak nasi goreng

Menu andalan papa saya adalah nasi goreng bumbu Ind*fo*d yang dimasak dengan berantakan dan penuh gaya. Sedangkan nasi goreng andalan papa mertua dikenal dengan sebutan nasi goreng ghaib, karena hanya akan dimasak saat tengah malam.

Nasi goreng buatan ayah profesional tentunya memiliki ciri khas tersendiri. Tidak seperti nasi goreng buatan ibu-ibu yang enaknya menyamai nasi goreng restoran, nasi goreng para ayah terasa enak entah karena apa. Mungkin karena waktunya yang tepat – di kala kelaparan tengah malam, atau mungkin karena aksinya yang tidak takut berantakan, sehingga terlihat seperti pahlawan di mata anak-anaknya yang selalu dimarahi oleh sang ibu karena membuat rumah berantakan.

Apapun rahasia di balik enaknya nasi goreng buatan ayah profesional tidak akan bisa ditulis dalam buku resep.

Sekarang Pancit juga sedang belajar untuk menjadi ayah profesional. Dia mencoba berbagai paduan nasi goreng, mulai dari nasi goreng telur biasa, nasi goreng teri, nasi goreng sosis, hingga nasi goreng udang pete. Tak hanya dari segi isi, Pancit juga masih harus mencari cita rasanya sendiri, mencari gaya uniknya. Pencariannya untuk mendapatkan nasi goreng ultimate, yang akan dikenang oleh anak-anaknya kelak, masih panjang. Nasi goreng Pancit masih seperti abg yang sedang mencari jati dirinya. Semoga ia dapat segera mendapatkan wangsit.

2. Sanggup menjadi “tempat sampah”

Rempah-rempah biskuit berantakan di kursi? Jangan khawatir, ada ayah profesional.

Makanan pesanan di restoran yang tidak habis disantap anak istri? Tidak akan mubazir, ada ayah profesional.

Apapun isi makanannya, bagaimanapun rasanya, seperti apapun bentuknya, seorang ayah profesional harus sanggup menjadi tempat sampah bagi anak istrinya.

Menurut cerita Pancit, saat acara makan keluarga di Bakmi GM, papa mertua saya tidak pernah memesan makanan, karena beliau tahu akan ada banyak makanan sisa dari anak-anaknya. Begitupun papa saya, beliau akan menghabiskan makanan sisa anak-anaknya, meski sambil menggerutu karena anak-anaknya tidak menghabiskan makanan.

Terkadang ayah profesional juga “berharap” ada sisa-sisa makanan dari istri dan anaknya, karena kondisi kantong yang hanya mencukupi untuk membahagiakan perut anak istri. Ah, betapa mulianya.

Meski belum berbuntut, namun Pancit juga sudah mulai belajar dengan menjadi tempat sampah bagi saya. Saya termasuk orang yang pilih-pilih makanan, sehingga kalau kami sedang makan di luar, ada saja makanan yang saya sisihkan di pinggir piring. Terkadang juga saya sudah kekenyangan makan es krim/coklat sehingga tidak sanggup menghabiskan makanan utama. Di saat-saat seperti itulah Pancit akan menjadi patriot pembersih sampah 😀

Selamat berjuang menjadi ayah profesional!

8 Replies to “Menjadi Ayah Profesional”

  1. Aku ngga suka nasi goreng pake bumbu instan itu berasa nasi dikepyuri penyedap rasa hehe. Kalo mau praktis biasanya bikin nasgor pake sambel trasi instan tibnggal tambah garem kalo kurang asin sama kecap hehe

    1. Saya juga kalau bumbu instan nasi goreng cuma suka indofood yang cair itu, karena ga terlalu berasa msg nya. Tapi mungkin juga karena dari kecil papa masak nasi gorengnya pake bumbu indofood itu, makanya jadi itu satu-satunya bumbu instan yang enak 😛

  2. Betul sekali….harus siap jadi tempat penampungan sampah……

  3. Baru mampir udah suka sama tulisannya 🙂

    http://www.fikrimaulanaa.com

Leave a Reply